15 August 2006

Menghakimi

Pada dasarnya Manusia telah diciptakan menurut gambarNya, dalam artian bahwa setiap Manusia sejak lahir telah dibekali dengan sifat-sifat utama Illahi seperti Kasih, Kuasa, Hikmat dan Keadilan, ya salah satunya adalah Keadilan. Terlepas dari begitu maraknya penyalah-gunaan hukum dan keadilan bahkan oleh mereka-mereka yang diberi wewenang untuk menegakkannya, harus kita akui bahwa tugas seorang hakim ternyata sangat berat. Tugas utamanya adalah untuk “Menghakimi”, artinya seorang hakim harus memberikan keputusan hukum yang seadil-adilnya dengan mempertimbangkan segala-sesuatu yang terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya, bahkan fakta-fakta sekecil apapun tidak boleh diabaikan begitu saja, karena apa yang mungkin nampaknya kecil – kadang bisa berpengaruh sangat besar terhadap lahirnya sebuah keadilan.
Tapi taukah anda..? Bahwa tanpa sadar kita telah menjadi hakim-hakim dalam keseharian kita? Tiap hari atau tiap saat kita dituntut untuk mengambil keputusan, mengambil sikap terhadap orang-orang lain disekitar kita, berdasarkan pada apa yang kita lihat, kita rasakan, kita pikirkan atau juga dari informasi-informasi yang kita terima.
Sekarang cobalah ajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini kepada diri sendiri:
- Pada saat-saat demikian sudahkah kita menjadi hakim-hakim yang adil ?
- Sudahkah kita mengumpulkan sebanyak-banyaknya bahan pertimbangan, bahkan pada hal-hal yang nampaknya sepele, dan seberapa akuratkah bukti-bukti maupun informasi yang kita miliki ?
- Sudahkah dengan cara yang seimbang kita meninjau hal-hal yang memberatkan demikian juga perkara-perkara positif yang meringankan secara proporsional?
- Apakah kita cenderung menjadi seperti Jaksa ataukah menjadi seperti Pembela?
- Apakah kita menggunakan standar yang sama untuk siapapun ?
Biasanya kita menjadi sangat sensitif terhadap rasa keadilan saat kita menjadi Obyek Justifikasi, ya betapa sangat mudahnya bagi kita untuk segera merasakan bahwa kita telah diperlakukan dengan tidak adil dan menjadi sangat sakit hati.
Namun bagaimana ketika kita harus manjadi hakim? Dimanakah kepekaan kita tersebut?
Jujur harus kita akui.. betapa seringnya kita menjadi hakim-hakim yang gegabah.. coba lihat, kadang hanya dari sebuah Gosip atau hanya dari Informasi ala kadarnya, kita sudah berani menjatuhkan vonis terhadap seseorang. Atau saat sebenarnya yang kita tahu atau dengar hanya permukaan masalahnya saja tapi kita merasa sudah tau segalanya, sampai lahir sebuah ungkapan “Don’t judge the book by the Cover”, sebuah ungkapan yang senada dengan Ayat Alkitab di Yoh.7:24 yang mengatakan:” Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil.”
Tanpa kita sadari banyak orang telah menjadi sakit hati atas kegegabahan kita.
Kita menuntut kesempurnaan dari orang-orang yang tidak sempurna, lebih extrimnya lagi telah kita ciptakan banyak “Sengkon dan Karta” disekitar kita, kita jatuhkan “hukuman mati” kepada orang-orang yang sebenarnya tidak layak menerimanya, kita mengenal istilah-istilah seperti Trial by the Pers, Pembunuhan karakter dll.
Bahkan sering kita terapkan pembalikan.., kita jatuhkan Vonis terlebih dahulu hanya karena kita menghendakinya atau menyukainya baru kita kumpulkan bukti-buktinya menyusul kemudian. (khusus yang mendukung Vonis tersebut tentunya). Duh.. ternyata kita-kita selama ini telah menjadi hakim-hakim yang sangat lalim.
Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita ? Adakah sosok yang layak kita jadikan anutan.., atau yang dapat memberikan pola tentang sebuah keadilan yang sejati..?
Siapa yang menyangkal bahwa Allah yang diatas adalah Maha Adil..? Namun keadilan macam apakah yang beliau terapkan. Apakah sekedar seimbang, tutup mata dan jatuhkan hukuman (digambarkan dengan pedang) seperti lambang pengadilan didunia ini. Sama sekali tidak demikian.. Allah yang bernama YEHUWA merupakan personifikasi dari KASIH (1Yoh.4:8). Penerapan sifat-sifat utama yang lainnya selalu bermuara kepada sifat paling utamanya tersebut. Jadi pada saat manjalankan keadilan, yang pertama akan beliau kumpulkan atau yang menjadi fokus utamanya adalah: Apakah bisa ditemukan alasan-alasan untuk mengampuni bukan alasan-alasan untuk menghukum.
Cukup dengan sebuah “pertobatan” beliau sudah siap menutup mata bahkan walau sehitam atau seberat apapun kesalahan-kesalahan yang manusia telah perbuat dihadapanNya. (Yes.1:18), menakjubkan bukan?? Tidak rumit alias sederhana dan tidak dibutuhkan buku-buku hukum yang tebal dan njlimet.
Dan metode pengadilan macam itu pula yang telah dan akan diterapkan oleh sang Hakim Agung yang diangkatnya, putra tunggalnya sendiri YESUS KRISTUS khususnya dalam pengadilan terAdil sepanjang sejarah kehidupan manusia, didalam Susunan Barunya kelak.
Nah pola merekalah yang dapat kita semua jadikan acuan saat kita harus menjadi hakim-hakim dalam kehidupan sehari-hari saat ini, terhadap anak-anak kita sendiri atau anggota keluarga yang lainnya, terhadap rekan seiman, tetangga, rekan sekerja atau terhadap pribadi lain manapun.
Tidak mudah memang namun patut diupayakan..

No comments: